Berikut adalah artikel yang admin kutip dari web KPK. Artikel ini kami kutip agar menjadi pembelajaran bagi siswa. Pendidikan di INdonesia belum menanamkan nilai-nilai kejujuran sebagai cikal bakal dari pendidikan anti korupsi. Bangsa ini terpuruk dikarenakan korupsi yang merajalela. KOrupsi tidak hanya terjadi dikalangan pejabat tinggi namun juga semua orang-orang yang mempunyai akses pada kekuasaan di semua lini.
Terkait dengan hal tersebut penulis sebagai guru mempunyai semangat untuk membantu memperbaiki kondisi bangsa Indonesia melalui pendidikan anti korupsi. Semangat ini dilandasi oleh keinginan agar bangsa Indonesia mampu bersaing dengan bangsa-bangsa di dunia.
Korupsi adalah problem terberat di Indonesia. Bagaimana tidak, predikat 10 besar negara terkorup di dunia, sepertinya sangat sulit dijauhi Indonesia. Dalam laporan Transparancy International (TI) 2006, Indonesia berada pada 10 negara paling korup, di samping Nigeria, Pakistan, Kenya, Bangladesh, China, Kamerun, Venezuela, Rusia, dan India. Masalah korupsi adalah fenomena kompleks dan seringkali muncul dalam banyak wajah dengan sebab dan akibat yang juga beragam. Mulai dari korupsi individual hingga korupsi berjamaah, dari korupsi kecil-kecilan hingga korupsi besar-besaran, mulai dari suap hingga pemberian hadian (gratifikasi).
Dalam rangka mengantisipasi dan memberantas praktik korupsi dengan berbagai macam modus yang kian canggih, dibuatlah Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. UU No. 20/2001 ini merupakan penyempurnaan dari beberapa undang-undang sebelumnya. Kompleksitas masalah korupsi yang mengeram di negeri ini mengindikasikan bahwa korupsi bukan lagi sekedar persoalan yang terkait dengan problem struktural, baik politik ataupun ekonomi, melainkan juga terkait erat dengan problem kultural, moral, individual.
Atas dasar itulah pada tahun 2002 Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan, melalui Lajnah Bahtsul Masailnya, mengeluarkan fatwa tentang hukuman bagi koruptor, money politic dan hibah kepada pejabat. Menarik untuk diteliti antara UU No. 31/1999 jo. UU No.20/2001sebagai hukum positif dan fatwa NU yang merepresentasikan hukum Islam tentang korupsi dan kategori tindakan korupsi. Sebab, landasan hukum yang digunakan oleh keduanya juga berbeda. Adapun metode yang digunakan ialah deskripsi analitis. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam analisis data ialah pendekatan yuridis normatif. Namun untuk mendukung dan mempermudah dalam kajian digunakan juga pendekatan sosiologi hukum. Dari hasil deskripsi diketahui bahwa yang termasuk dalam kategori korupsi menurut UU No. 31/1999 jo. UU No.20/2001 ialah merugikan keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Sedangkan menurut fatwa NU ialah penghianatan jabatan (gulu l) dan suap menyuap (risywah), baik berupa money politic maupun hibah kepada pejabat. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa pengertian korupsi menurut keduanya ialah sama, yakni korupsi merupakan suatu praktik tindak pidana yang didasarkan pada penyalahgunaan jabatan demi keuntungan pribadi maupun pihak lain yang berakibat pada kerugian negara. Pengkategorian tindakan korupsi pun sama. Hanya saja, kategori dalam fatwa NU lebih bersifat umum. Meski bukan sebagai hukum tertulis, adanya fatwa NU sebagai bagian dari domain kultural, merupakan suatu kelebihan sebab korupsi erat hubungannya dengan moralitas.Sedang undang-undang lebih diharapkan pada sisi hukumannya.
Pengaturan mengenai kategorisasi perbuatan korupsi sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 ini bersifat lebih rinci dibandingkan pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya. Berdasarkan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 maka tindak pidana korupsi dikategorisasikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Kategorisasi pertama tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 s/d 12 Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Pasal 13 s/d 16 UU No. 31 tahun 1999. Kategorisasi kedua dapat dilihat dalam 21 s/d 24 Undang-undang No. 31 tahun 1999.
Jenis Tindak Pidana Korupsi
1. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Pejabat-Pejabat Publik Nasional (Bribery of National Public Officials)Ketentuan tipe tindak pidana korupsi ini diatur dalam ketentuan Bab III tentang kriminalisasi dan penegakan hukum (Criminalization and Law Enforcement) dalam Pasal 15, 16, dan 17 KAK 2003. Pada ketentuan Pasal 15 diatur mengenai penyuapan pejabat-pejabat publik nasional (Bribery of National Public Officials) yaitu dengan sengaja melakukan tindakan janji, menawarkan atau memberikan kepada seorang pejabat publik secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang tidak pantas (layak), untuk pejabat tersebut atau orang lain atau badan hukum agar pejabat yang bersangkutan bertindak atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya. Kemudian, terhadap penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pajabat-pejabat dari organisasi internasional publik (bribery og foreign public officials and officials of public international organization) diatur dalam ketentuan Pasal 16 dan pengelapan, penyelewengan atau pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh seorang pejabat publik diatur dalam ketentuan Pasa 17 KAK 2003.
2. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan di Sektor Swasta (Bribery in the private Sector).
Tipe tindak pidana korupsi jenis ini diatur dalam ketentuan Pasal 21, 22 KAK 2003.
Ketentuan tersebut menentukan setiap negara peserta konvensi mempertimbangkan kejahatan yang dilakukan dengan sengaja dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonomi, keuangan dan perdagangan menjanjikan, menawarkan atau memberikan, secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya kepeda seseorang yang memimpin atau berkerja pada suatu badan disektor swasta untuk diri sendiri atau orang lain melanggar tugasnya atau secara melawan hukum. Apabila dibandingkan, ada korelasi erat antara tipe tindak pidana korupsi penyuapan disektor publik maupun swasta.
3. Tindak Pidana Korupsi Terhadap Perbuatan Memperkaya Secara Tidak Sah (Ilicit Enrichment).
Pada asasnya, tindak pidana korupsi perbuatan memperkaya secara tidak sah (Ilicit nrichment) diatur dalam ketentuan Pasal 20 KAK 2003. Ketentuan Pasal 20 KAK 2003 mewejibkan kepada setiap negara peserta konvensi mempertimbangkan dalam prinsip-prinsip dasar sistem hukumnya untuk menetapkan suatu tindak pidana bila dilakukan dengan sengaja, memperkaya secara tidak sah yaitu suatu kenaikan yang berarti dari aset-aset seorang pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal berkaitan dengan pendapatannya yang sah. Apabila dijabarkan, kriminalisasi perbuatan memperkaya diri sendiri sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri mempunyai implikasi terhadap ketentuan Pasal 2 UU No 31 tahun 1999 khususnya unsur kerugian negara yang bukan sebagai anasir esensial dalam Pasal 3 butir 2 KAK 2003.
4. Tindak Pidana Korupsi Terhadap Memperdagangkan Pengaruh (Trading in Influence).
Tindak pidana korupsi ini diatur dalam ketentuan Pasal 18 KAK 2003. Tipe tindak pidana korupsi baru dengan memperdagankan pengaruh (Trading in Influence)sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menjanjikan, menawarkan atau memberikan kepeda seseorang pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya, agar pejabat publik itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata, atau yang diperkirakan, suatu keuntungan yang tidak semestinya bagi si penghasut asli tindakan tersebut atau untuk orang lai
5. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara.
6. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan dengan meyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
7. Melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui patut disangka olehnya bahwa kerugian tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
8. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti yang dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatannya atau kedudukan itu.
9. Tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
10. Tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419, dan 420 KUHP, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.
11. Korupsi Transaktif. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang dilakukan atas dasar kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima dari keuntungan peribadi masing-masing pihak dan kedua pihak sama-sama aktif melakukan usaha untuk mencapai keuntungan tersebut
12. Korupsi Ekstortif (Memeras). Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi dimana terdapat unsur paksaan, yaitu pihak pemberi dipaksa untuk melakukan penyuapan guna mencegah terjadinya kerugian bagi dirinya, kepentingannya, orang-orang, atau hal-hal yang penting baginya
13. Korupsi Nepotistik (Perkerabatan). Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi dengan melakukan penunjukan secara tidak sah terhadap kawan atau kerabat untuk memegang suatu jabatan publik, atau tindakan yang memberikan perlakuan istimewa dalam bentuk uang atau bentuk lain kepada mereka secara bertentangan dengan norma atau ketentuan yang berlaku
14. Korupsi Investif. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang berwujud pemberian barang atau jasa tanpa ada keterkaitan langsung dengan keuntungan tertentu, melainkan mengharapkan suatu keuntungan yang akan diperoleh di masa depan
15. Korupsi Suportif (Dukungan). Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang berbetuk upaya penciptaan suasana yang dapat melanggengkan, melindungi dan memperkuat korupsi yang sedang dijalankan
16. Korupsi Autogenik. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang dilakukan secara individual untuk mendapatkan keuntungan karena memahami dan mengetahui serta mempunyai peluang terhadap obyek korupsi yang tidak diketahui oleh orang lain
17. Korupsi Defensif. Korupsi ini adalah suatu bentuk korupsi yang dilakukan oleh korban korupsi dalam rangka mempertahankan diri terhadap upaya pemerasan terhadap dirinya.
18. Pungutan liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari pajak dan bea cukai, pemersan dan penyuapan.
19. Pungutan liar jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit bank, komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin-izin, kenaikan pangkat, punggutan terhadap uang perjalanan, pungli pada pos-pos pencegatan dijalan,pelabuhan dan sebagainya.
20. Pungutan liar jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh Pemda, yaitu punggutan yang dilakukan tanpa ketetapan berdasarkan peraturan daerah, tetapi hanya dengan surat-surat keputusan saja.
21. Penyuapan, yaitu seorang penguasa menawarkan uang atau jasa lain kepada seseorang atau keluarganya untuk suatu jasa bagi pemberi uang.
22. Pemerasan, yaitu orang yang mememang kekuasaan menuntut pembayaran uang atau jasa lain sebagai ganti atau timbal balik fasilitas yang diberikan.
23. Pencurian, yaitu orang yang berkuasa menyalahgunakan kekuasaannya dan mencuri harta rakyat, langsung atau tidak langsung.
24. Nepotisme, yaitu orang yang berkuasa memberikan kekuasaan dan fasilitas pada keluarga atau kerabatnya, yang seharusnya orang lain juga dapat atau berhak bila dilakuka secara adil.
25. Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
26. Penggelapan dalam jabatan,
27. Pemerasan dalam jabatan,
28. Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
29. Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
30. Korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan.
31. Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan Negara
32. Menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan Negara
33. Pegawai negeri dengan sewenang-wenang memakai kekuasaannya memaksa orang untuk membuat, tidak membuat atau membiarkan barang sesuatu apa.
34. Pegawai negeri dalam perkara pidana mempergunakan paksaan, baik memaksa untuk supaya mengaku , maupun memancing supaya memberi keterangan.
35. Pegawai negeri melampaui batas kekuasaannya masuk kedalam rumah atau kedalam ruangan.
36. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatannya.
37. Memberi hadiah atau janji kepada hakim yang menangani perkara yang bersangkutan.
38. Memberi hadiah atau janji kepada penasehat hukum.
39. Pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji sedang ia tahu atau patut disangka apa yang dihadiahkan berhubungan dengan kekuasaan atau hak karena jabatannya.
40. Pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji berhubungan jabatan, berlawanan dengan kewajibannya.
41. Hakim atau penasehat hukum menerima pemberian atau janji.
42. Menggelapkan uang atau surat berharga.
43. Membuat secara palsu atau memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
44. Sengaja menggelapkan, membinasakan, merusakkan, membuat tidak dapat dipakai lagi barang-barang yang diperuntukkan menjadi tanda bukti atau surat akte, surat keterangan atau daftar.
45. Pegawai negeri memaksa seseorang dengan sewenang-wenang memakai kekuasaannya, supaya memberikan sesuatu.
46. Pegawai negeri dengan sewenang -wenang memakai kekussaannya, menggunakan tanah pemerintah yang dikuasai dengan hak Bumiptera.
47. Pemborong atau ahli banguann atau penjual bahan bangunan saat menyerahkan bahan-bahan bangunan melakukan akal tipu.
48. menyerahkan bahan bangunan kepada bala tentara melakukan akal tipu.
49. Pegawai negeri turut campur dalam pemborongan.
50. Menyuap pegawai negeri
51. Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya
52. Pegawai negeri menerima suap
53. Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya
54. Menyuap hakim
55. Menyuap advokat
56. Hakim dan advokat menerima suap
57. Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan
58. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administras
59. Pegawai negeri merusakkan bukti
60. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti
61. Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti
62. Pegawai negeri memeras 16. Pegawai negeri memeras pegawai yang lain
63. Pemborong berbuat curang
64. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang
65. Rekanan TNI/Polri berbuat curang 20. Pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
66. Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
67. Pegawai negeri menyerobot tanah Negara sehingga merugikan orang lain
68. Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya
68. Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK
69. Merintangi proses pemeriksaan 26. Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai
kekayaannya
70. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
71. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
72. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu Saksi yang membuka identitas pelapor